MACAM-MACAM
MAZHAB
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai
sekarang, yaitu sebagai berikut:1. Mazhab Hanafi Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad. Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut. Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu: * Bagian pertama diberi nama al-Mabsut; * Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir; * Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir; * Bagian keempat as-Siyar al-Kabir; * Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan * Bagian keenam az-Ziyadah. Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi. Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini. Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
2. Mazhab Maliki. Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits. Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang. Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ‘Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas. Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.). Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.
3. Mazhab Syafi’i Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ‘yi, Imam asy-Syafi ‘i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi. Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’ Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ‘i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ‘i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ‘i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ‘i tersebut.
4. Mazhab Hanbali Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut: 1. An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’; 2. Fatwa Sahabat; 3. Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW; 4. Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’; dan 5. Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas. Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hambali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
A. Persamaan dan Perbedaan Sholat 4 Mazhab
Semua orang
Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau
meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat,
karena shalat termasuk salah satu rukun Islam. (Mughniyah; 2001)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh, Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali : Harus dibunuh, Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
- Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim
berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan
dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai
berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan
“Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak
melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
2. Takbiratul Ihram : shalat tidak akan
sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
“Kunci
shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu
selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan
penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
3. Berdiri : semua ulama mazhab
sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul
ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan
duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan,
seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan
badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi.
Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat
terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam
ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila
tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia
boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu
juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
(Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
4. Bacaan : ulama mazhab berbeda
pendapat.
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat
fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh,
berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001)
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
5. Ruku’ : semua ulama mazhab
sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda
pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’,
yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah;
2001)
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata
membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang
shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah
dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah
”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah
”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
6. Sujud : semua ulama mazhab
sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka
berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki,
Syafi’i, dan Hanafi
: yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah
sunnah. (Mughniyah; 2001)
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
7. Tahiyyat : tahiyyat di dalam
shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi
setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan
tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri
dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat.
(Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama itu wajib.
Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
8. Mengucapkan salam (Mughniyah; 2001)
Syafi’i,
Maliki, dan Hambali
: mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”
Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”
Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
9. Tertib : diwajibkan tertib antara
bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari
bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib
didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya.
(Mughniyah; 2001)
10. Berturut-turut : diwajibkan
mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara
satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung
setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah
atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada
selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah;
2001)
Para ulama mazhab yang empat
berbeda pendapat dalam menetapkan rukun shalat. Bahkan golongan Hanafiah membedakan lagi antara rukun
dan wajib shalat, rukun shalat menurut mereka hanya enam, yaitu:
1. Takbirat al-ihram.
2. Berdiri.
3. Membaca al-Qur`an.
4. Ruku’.
5. Sujud.
6. Duduk terakhir sekedar membaca
tasyahud.
Sedangkan wajib shalat adalah:
1. Iftitah (membuka) shalat dengan
lafaz “Allahu Akbar”.
2. Membaca al-Fatihah.
3. Membaca surat al-Qur`an sesudah
al-Fatihah.
4. Membaca surat pada dua raka’at
yang pertama dalam shalat fardhu.
5. Mendahulukan al-Fatihah dari
pada membaca surat.
6. Menempelkan hidung dan kening
bersamaan pada waktu sujud.
7. Memelihara tertib dalam
perbuatan yang dilakukan berulang-ulang.
8. Tuma’ninah (diam sejenak) dalam
melaksanakan rukun.
9. Duduk yang pertama pada raka’at
kedua dalam shalat yang tiga atau empat raka’at.
10. Membaca tasyahud pada duduk
yang pertama.
11. embaca tasyahud pada duduk yang
terakhir.
12. Berdiri untuk raka’at yang
ketiga dengan tidak melambatkan sesudah selesai tasyahud pertama.
13. Mengucapkan salam dua kali (ke
kanan dan ke kiri) setelah selesai shalat dengan kalimat al-Salam saja (tidak
‘alaikum).
14. Menjaharkan bacaan bagi imam
pada shalat Shubuh dan pada dua raka’at pertama Magrib dan Isya.
15. Mensirrkan bacaan bagi imam dan
shalat sendirian pada shalat Dhuhur dan Ashar.
16. Takbir pada shalat ‘ied (hari
raya).
17. Qunut pada shalat witir.
18. Diam (mendengarkan baik-baik)
serta mengikuti imam pada shalat berjama`ah.
Menurut golongan Malikiyah rukun shalat tiga belas
macam, yaitu:
1. Niat.
2. Takbirat al-ihram.
3. Berdiri waktu takbiratul
al-ihram pada shalat fardhu.
4. Membaca al-Fatihah dalam shalat
berjama`ah dan shalat sendirian.
5. Berdiri waktu membaca
al-Fatihah.
6. Ruku’.
7. Bangkit dari ruku’.
8. Sujud.
9. Duduk antara dua sujud.
10.Mengucapkan salam.
11.Duduk di waktu mengucapkan
salam.
12.Tuma’ninah pada seluruh rukun.
13.I’tidal sesudah ruku’ dan sujud.
Menurut golongan Syafi`iyah rukun shalat tiga belas
macam, yaitu:
1. Niat.
2. Takbirat al-Ihram.
3. Berdiri pada shalat fardhu bagi
yang sanggup.
4. Membaca al-Fatihah bagi setiap
orang yang shalat kecuali ada uzur seperti terlambat mengikuti imam (masbuq).
5. Ruku’.
6. Sujud dua kali setiap raka’at.
7. Duduk antara dua sujud.
8. Membaca tasyahud akhir.
9. Duduk pada tasyahud akhir.
10.Shalawat kepada Nabi SAW setelah
tasyahud akhir.
11.Duduk diwaktu membaca shalawat.
12.Mengucapkan salam.
13.Tertib.
Menurut golongan Hanabilah rukun shalat ada empat belas
macam, yaitu:
1. Takbirat al-ihram.
2. Berdiri pada shalat fardhu bagi
yang sanggup.
3. Membaca al-Fatihah pada setiap
raka’at dalam shalat berjama`ah dan shalat sendirian.
4. Ruku’.
5. I’tidal (bangkit) dari ruku’.
6. Sujud.
7. I’tidal (bangkit) dari sujud.
8. Duduk antara dua sujud.
9. Tuma’ninah pada ruku’ dan sesudahnya
serta sujud dan sesudahnya.
10.Membaca tasyahud akhir.
11.Shalawat kepada Nabi SAW sesudah
tasyahud akhir.
12.Mengucapkan salam dua kali.
13.Duduk di waktu membaca shalawat.
14.Salam dan tertib rukun.
Dari pendapat Imam Mazhab Yang Empat di atas dapat dilihat bahwa ada beberapa hal
yang mereka sepakati wajib dikerjakan dalam shalat, yaitu:
1. Takbiratul ihram.
2. Berdiri.
3. Membaca al-Fatihah.
4. Ruku’.
5. Sujud.
6. Membaca salam.
7. Tertib.
B. Mazhab
Berwudhu
1. Niat yaitu
tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan motivasi (dorongan) untuk mengikuti
perintah-perintah Allah. Para ulama mazhab sepakat bahwa niat itu termasuk
salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melaksanakan wudhu
itu. Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan
niat; maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk
mendinginkan badannya atau untuk membersihkannya, kemudian membasahi semua
anggota wudhu, lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan final
dari wudhu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut telah
tercapai, lianya Hanafi mengecualikan sesuatu yang bercampur dengan
sisa-sisa keledai atau anggur yang tcrbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka
(Hanafi) menegaskan dengan wajibnya niat. (Ibnu Abidin, Jilid I, halaman
76).
2. Membasuh MukaYang dimaksud dengan membasuh muka adalah
mengalirkan air pada muka. la wajib cukup satu kali saja. Batasnya dari
tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu. Syafi’i: Juga wajib
membasahi sesuatu yang di bawah dagu. Imamiyah dan Maliki:
Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk. Mazhab-mazhab yang lain:
Batas membasuh muka itu dari anak kuping kiri ke anak kuping kanan. Empat
mazhab: Kewajibannya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai dari atas
itu adalah lebih utama.
3. Membasuh Dua Tangan. Kaum Muslimin sepakat bahwa
membasuh dua tangan sarnpai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib. Imamiyah:
Wajib memulainya dari dua siku-siku dan batal bila sebaliknya, sebagairnana
Imamiyah mewajibkan mendahulukan tangan yang kanan dari tangan yang kiri.
Mazhab-mazhab yang lain:Yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan
mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari jemari adalah lebih
utarna.
4. Mengusap Kepala. Hambali: Wajib mengusap semua
kepala dan dua telinga. Sedangkan mandi, menurut Hambali adalah cukup
sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya di
atas kepala. Maliki; Wajib mengusap semua kepala tanpa telinga.
Hanafi: Wajib mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan
memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepalanya. Syafi’i:
Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan
membasahi atau menyiram sebagai pengganti dari mengusap. Imamiyah:
Wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cukup dengan sangat sedikit
sepanjang bisa dinamakan mengusap kepala, tetapi tidak boleh membasahi dan
tidak boleh pula menyiraminya, sebagaimana Imamiyah mewajibkan
mengusapnya dengan basahan wudhu, dan jika digunakan air baru serta mengusap
dengannya, maka wudhunya batal. Empat mazhab: Wajib mengusap
dengan air baru. (Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah,jilid I, dalam bab mashurra’si,
dan juga di Tadzkirah, ‘Allamah Al-Hilli).
5. Kalau mengusap surban,
maka Hambali telah membolehkannya, dengan sebagian surban itu berada di
bawah dagu. Hanafi, Syafi’i dan Maliki: boleh kalau ada udzur,
tetapi bila tidak, tidak boleh. Imamiyah: Tidak boleh mengusap
surban, berdasarkan firman Allah: “Dan usaplah kepala-kepala kalian”.
Sedangkan surban tidak bisa dinamakan kepala.
6. DuaKaki Empat
mazhab: Wajib membasuhnya sampai mata kaki satu kali. Imamiyah:
Wajib mengusapnya dari ujung jari-jemari sampai pada mata kaki. Kesepakatan
ulama mazhab: Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan apakah
mengusap atau membasuh dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6
surat Al-Maidah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menegakkan
shalat, maka basuhlah muka-muka kamu, kedua langan kamu sampai siku-siku, dan
usaplah kepala-kepala kamu dan kaki kamu sampai dua mata kakinya”. Kata
arjul ada yang membaca dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya
dengan fathah, yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup
mengusap berarti menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru ‘us
sekaligus membacanya kasrah, dan kedudukan nashabnya fil mahalli (berada di
tempat), karena setiap yang dikasrahkan lafadznya ia di-nashab-kan
(di-fathah-kan) pada mahal (tempat). Dan orang berpendapat dengan
membasuh, ia mengatakan bahwa arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan) dengan
menjadikannya athaf kembali pada kata aidiya. Silahkan membaca Tafsir
Ar-Razi. Empat mazhab: Boleh mengusap sepatu dan kaos kaki sebagai
pengganti dari membasuh dua kaki. Imamiyah: Tidak boleh, berdasarkan
perkataan Imam Ali salâmullâhi
‘alaihi: “Saya tidak mengamalkan, apakah saya
mengusap dua khuf (sepatu) atau punggung unta di padang Sahara”.
7. Tertib Tertib
ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: Dimulai dari muka, lalu dua tangan,
lalu kepala, lalu dua kaki. la wajib sekaligus syarat sahnya wudhu, menurut
Imamiyah, Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki: Tidak
wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka.
8. Muwalat yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota
wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan) pada
anggota selanjutnya dengan segera. Imamiyah dan Hambali:
Wajib muwalat, hanya Imamiyah mensyaratkan tidak sampai kering anggota
yang dibasuh itu sebelum melanjutkan anggota sesudahnya. Kalau sampai kering
anggota wudhu itu, maka batallah wudhunya, dan berarti wajib memulai lagi. Hanafi
dan Syafi’i: Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan memisahkan dalam
membasuh antar anggota-anggota wudhu itu kalau tidak udzur, bila ada udzur,
maka hilanglah kemakruhan itu. Maliki: Muwalat itu
diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia
menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya,
lalu lupa membasuh dua tangannya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu
itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan
sesuatu yang dibangun di atas keyakinannya, sekalipun telah lama.
C. Mazhab
Puasa
Hal-hal yang membatalkan puasa ada dua macam: yang mewajibkan qadla' saja
(tidak kafarat), dan ada yang mengharuskan qadla' dan kafarat.
Kali ini, kita akan menampilkan
yang pertama, yang mewajibkan qadla' saja, menurut 4 mazhab besar : Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah. A.
Mazhab Hanafiyah
Hal-hal yang membatalkan puasa,
dalam mazhab Hanafiyah ini terbagi ke dalam 3 kelompok besar.
Pertama,
memakan/menelan/meminum sesuatu yang tidak selayaknya ia makanan. Masuk dalam
kelompok ini adalah hal-hal berikut:
* memakan beras mentah.
* makan adonan tepung yang tidak
dimasak.
* menelan obat-obatan (tanpa maksud
yang jelas).
* Memakan buah yang belum masak.
* Memakan sisa-sisa makanan di
mulut sebesar kacang Arab (sama dengan setengahnya kacang tanah).
* Memakan garam banyak dengan
sekali telan juga mewajibkan qadla' (tidak kafarat), berbeda jika menelannya
sedikit-sedikit, maka selain qadla' puasa ia juga wajib membayar kafarat.
* Memakan biji-bijian.
* Memakan/menelan kapas, kertas
atau kulit, kerikil, besi, debu, batu, uang kertas/perak atau sejenisnya.
* Memasukkan air atau obat ke dalam
tubuh dengan cara menyuntukkan melalui lubang kemaluan, hidung, atau
tenggorokan.
* Meneteskan minyak ke dalam
telinga (bukan air, karena air tidak bisa meresap lebih jauh ke dalam).
* Masuknya air hujan atau salju ke
dalam tenggorokan tanpa sengaja, dan dia tidak menelannya.
* Sengaja muntah-muntah, atau
mengeluarkan muntah dengan paksa lantas ditelankannya kembali, jika muntahannya
itu memenuhi mulut; atau walaupun tidak sampai memenuhi mulut namun yang
kembali tertelan minimal menyamai biji kacang Arab, sementara dia sadar bahwa
dia puasa. Namun jika muntahan itu terjadi dengan tanpa sengaja; atau kalaupun
muntah secara disengaja namun muntahannya tidak memenuhi mulutnya; atau saat
muntah dia lupa bahwa dia sedang puasa; atau muntahannya itu berupa lendir,
tidak makanan; maka puasanya tidak batal. Ini berdasar hadis "Barang siapa
muntah dengan tanpa sengaja maka dia tidak wajib mengqadla, namun jika sengaja
muntah-muntah maka diwajibkan mengqadla'".
Kedua adalah
memakan/meminum/menelan makan-makanan atau obat-obatan karena ada udzur, baik
itu berupa penyakit, dipaksa, memakan/meminum/menelan secara keliru, atau
karena menyepelekan, atau karena samar. Masuk dalam kategori ini adalah hal-hal
berikut ini:
* Masuknya air kumur ke dalam perut
secara tak sengaja.
* Berobat dengan cara membedah
tubuh bagian kepala atau perut, lantas obat yang dimasukkan mencapai otak atau
perut.
* Orang tidur yang dimasuki air ke
dalam tubuhnya dengan sengaja.
* Orang perempuan yang membatalkan
puasanya dengan alasan khawatir sakit karena melaksanakan suatu pekerjaan.
* Makan atau bersenggama secara
syubhat/samar, setelah ia melakukan hal itu (makan atau senggama) karena lupa.
* Makan setelah ia berniat puasa
pada siang hari.
* Seorang musafir (orang yang
bepergian) yang makan saat niat puasanya dilakukan pada malam hari setelah ia
memutuskan untuk menetap (mukim) di tempat ia berada.
* Makan/minum/senggama pada saat
fajar telah terbit, namun ia ragu apakah fajar telah terbit.
* Makan/minum/senggama pada saat
matahari belum terbenam, namun ia menyangka bahwa matahari telah terbenam
(telah maghrib).
CATATAN Seorang yang makan atau
melakukan hubungan badan sejak sebelum terbitnya fajar, kemudian fajar terbit,
maka jika ia langsung menghentikannya atau memuntahkan makanan yang ada di
mulutnya, maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya.
Ketiga adalah pelampiasan
nafsu seks/birahi secara tak sempurna. Masuk dalam kategori ini adalah hal-hal
berikut:
* Keluarnya mani dikarenakan
berhubungan badan dengan mayit atau binatang atau anak kecil yang belum
menimbulkan syahwat.
* Keluarnya mani karena berpelukan
atau adu paha.
* Keluarnya mani karena ciuman atau
rabaan.
* Perempuan yang disetubuhi saat ia
tertidur.
* Perempuan yang menetesi
kemaluannya dengan minyak.
* Memasukkan jari yang dibasahi
dengan minyak atau air kedalam anus, lantas air atau minyak itu masuk ke dalam.
* Bercebok sehingga ada air yang
masuk ke dalam melalui anus.
* Memasukkan sesuatu sampai
tenggelam seluruhnya (kapas, kain, atau jarum suntik, dll) ke dalam anus.(Jika
tidak tenggelam seluruhnya, maka tidak membatalkan puasa)
* Perempuan yang memasukkan jarinya
yang dibasahi dengan minyak atau air ke dalam vaginanya bagian dalam.
Mazhab Malikiyah
Dalam mazhab ini, hal-hal yang
mewajibkan qadla' (tanpa kafarat) ada 3 kategori berikut ini: 1. Membatalkan
puasa-puasa fardlu (seperti qadla' Ramadlan, puasa kafarat, puasa nadzar yang
tidak tertentu, puasanya orang yang haji tamattu' dan qiraan yang tidak
membayar denda). Adapun puasa nadzar yang ditentukan, semisal bernadzar puasa
hari/beberapa hari/bulan tertentu, jika dia membatalkan puasanya itu karena
udzur seperti haidl, nifas, ayan, gila, sakit, dll, maka ia tak wajib
mengqadla'. Namun jika uzdurnya sudah hilang sementara apa yang dinadzarkannya
masih tersisa, maka ia wajib melakukan puasa pada hari yang tersisa itu.
2. Membatalkan puasa dengan sengaja
pada puasa Ramadhan, selama syarat-syarat wajibnya kafarat tak terpenuhi.
Seperti batalnya puasa karena udzur seperti sakit; atau karena udzur yang
menghilangkan dosa seperti lupa, kesalahan, keterpaksaan; batalnya puasa karena
keluarnya madzi atau mani karena melamun/melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menimbulkan
syahwat), dengan tanpa berlebihan, namun kebiasaannya keluar mani pada saat
berhenti dari tindakan itu. Singkatnya, semua puasa wajib yang dibatalkannya
wajib baginya mengqadla, kecuali puasa nadzar tertentu yang dibatalkannya
karena udzur.
3. Membatalkan puasa dengan sengaja
pada puasa-puasa sunat. Karena menurut mazhab ini, melakukan suatu ibadah
sunat, hukumnya wajib melakukannya sampai sempurna. Jika dibatalkan secara
sengaja maka harus mengqadlanya, dan jika tanpa jika batalnya karena udzur tidak
wajib mengqadlanya.
Kesimpulannya, seseorang yang
membatalkan puasa (semua jenis puasa) dengan sengaja maka ia wajib
mengqadlanya, dan tidak wajib membayar kafarat kecuali pada puasa Ramadhan
saja. Dan barang siapa yang batal puasanya (jenis apa saja) karena lupa, wajib
baginya mengqadla (tidak kafarat), kecuali pada puasa sunat (tidak wajib qadla'
tidak pula kafarat).
Adapun hal-hal yang bisa
membatalkan puasa, dalam mazhab ini, ada 5 hal:
1. Bersengga yang mewajibkan mandi.
2. Keluarnya mani atau madzi karena
ciuman, belaian, dan melihat/memikir-mikir (sesuatu yang menimbulkan syahwat)
dan itu dilakukannya dengan sengaja dan terus-terusan.
3. Muntah-muntah secara sengaja,
baik muntahannya itu memenuhi mulut atau tidak. Namun jika muntah itu terjadi
secara tak sengaja maka tak membatalkan puasanya, kecuali jika ada muntahannya
yang kembali masuk ke perut walau tak sengaja (maka batallah puasanya).
4. Sampainya sesuatu yang cair ke
tenggorokan melalui mulut, hidung,
atau telinga, baik itu secara sengaja,
lupa, kesalahan, atau keterpaksaan. Seperti air kumur atau saat gosok gigi.
Masuk dalam kategori hukum cairan ini juga, dupa dan kemenyan jika dihirup
kuat-kuat sehingga masuk ke tenggorokan, asap yang diketahui (seperti
rokok-pent), bercelak dan berminyak rambut pada siang hari jika rasanya sampai
ke tenggorokan, jika tidak sampai ke tenggorokan tidak membatalkan puasa.
Sebagaimana ia tak membatalkan puasa, jika hal itu dilakukannya pada malam
hari).
5. Sampainya sesuatu ke pencernaan,
baik zat cair atau tidak, melalui mulut, hidung, mata atau pangkal rambut, baik
masuknya dengan disengaja, keliru, lupa atau terlanjur. Adapun suntikan pada
lobang kelamin laki-laki tidak membatalkan puasa. Begitu juga halnya
mengkorek-korek lubang telinga, juga menelan sisa-sisa makanan yang masih
menempel di antara gigi-gigi tidak membatalkan puasa, meskipun itu dilakukan
dengan sengaja. Demikian pula masuknya segala sesuatu, baik berupa cairan atau
tidak, ke dalam pencernaan melalui lubang-lubang (menuju dalam tubuh) yang
berada di atas perut, baik lubang tersebut lebar atau sempit, membatalkan puasa
dan wajib mengqadlanya. Beda dengan sesuatu yang masuk melalui lubang bawah
(perut), ia baru dianggap membatalkan puasa jika lubang bawah itu lebar
(seperti lubang anus dan kelamin perempuan), dan barang yang masuk itu berupa
zat cair (tidak benda yang keras). Singkatnya, qadla' itu wajib bagi orang yang
membatalkan puasa-puasa wajib, baik itu dilakukannya dengan sengaja, lupa,
keterpaksaan; baik pembatalannya itu haram, boleh, atau wajib seperti orang
yang membatalkan puasanya karena kekhawatirannya akan sesuatu yang fatal (jika
ia puasa); baik pembatalan itu juga mewajibkan kafarat atau tidak; baik puasa
fardhu itu asli atau puasa nadzar.
D. Mazhab
Memakai Cadar
Madzhab Hanafi Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah)
* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
* Al Allamah Al Hashkafi berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)
* Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?
Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
* Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
* Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
* Al Hathab berkata:
واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح
“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)
* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب
“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)
Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)
Madzhab Hambali
* Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
* Ibnu Muflih berkata:
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)
* Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:
« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها » “’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)
* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi”
Daftar Pustaka
As’ad, Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin, Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya tiga Putra.
Rasjid, Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan, Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
As’ad, Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin, Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya tiga Putra.
Rasjid, Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan, Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i, Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya Toha Putra.
Fatawa Nurun ‘Alad Darb,
http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar